Jumat, 19 Juni 2015

Makalah Salam

SALAM

Disusun guna memenuhi :
Mata kuliah                 : Fiqih Muamalah II
Dosen pengampu        : Agus Fakhrina, M.Si

Disusun oleh :

1.      Arum Kemuning Citra Resmi             (2012113030)
2.      Nisfa Nurul Rosyida                           (2012113029)



JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015 



BAB I
PENDAHULUAN
Dalam konteks masalah muamalah berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Cakupan hukum muamalat sangat luas dan bervariasi, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau perikatan, hukum pidana, peradilan dan sebagainya. Pembahasan muamalah terutama dalam masalah ekonomi tentunya akan sering kali ditemui sebuah perjanjian atau akad. 
Akad merupkan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan kabul, secara sah menurut syara dan menimbulkan akibat hukum. Jika kita kaitkan dengan sebuah desain kontrak maka kita akan mencoba mengkaitkan dengan Lembaga Keuangan dikarenakan akad merupakan dasar sebuah instrumen dalam lembaga tersebut, terutama di Lembaga Keungan Syariah Akad menjadi hal yang terpenting hal ini terkait dengan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan di dalam islam. 
Pada kesempatan ini akan membahas akad-akad yang di gunakan di Lembaga Keungan Syariah yang telah sering dipergunakan dalam kehiduapan sehari-hari terlebih berkembanganya ekonomi islam. Akad yang ada dalam bank syariah ada yang merupakan dana kebajikan (tabarru’) dan ada juga akad yang dijadikan dasar sebuah instrumen untuk transakasi yang tujuannya memperoleh keuntungan (tijarah). Tentunya ini adalah hal yang berbeda dan pastilah dalam akad itu ada beberapa penjabaran dan penjelasan bagaiman akad itu seharusnya bisa dilakukan. Dalam makalah ini akan dibahas pengklasifikasian dari berbagai akad yang digunakan dalam lembaga keuangan syariah.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Salam sinonim dengan salaf. Dikatakan aslama ats-tsauba lil khiyath, artinya ia memberikan atau menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam karena orang yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena ia menyerahkan uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangannya.
Secara terminologis salam adalah transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan di tempat transaksi.
Menurut Kompilasi Hukum  Ekonomi Syariah, salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.[1]
Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible (barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya. Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dan lain-lain yang merupakan barang langka tidak dapat dijadikan objek salam (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996). Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati.
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya dimuka.[2]
Sama halnya dengan para pedagang Arab yang biasa mengekspor barang ke wilayah lain dan menimpor barang lai untuk keperluan negerinya. Mereka membutuhkan modal untuk keperluan negerinya. Mereka membutuhkan modal untuk menjalankan usaha perdagangan ekspor-impor itu. Untuk kebutuhan modal perdagangan ini, mereka tidak dapat lagi meminjam dari para rentenir setelah dilarangnya riba. Oleh sebab itulah, mereka diperbolehkan menjual barang dimuka. Setelah menerima pembayaran tunai tersebut, mereka dengan mudah dapat menjalankan usaha perdagangan mereka.
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran dimuka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam lebih murah dari pada harga dengan akad tunai.[3]
Transaksi salam sangat populer pada zaman Imam Abu Hanifah (80-150 AH/699-767 AD). Imam Abu Hanifah meragukan keabsahan kontrak tersebut yang mengarah kepada perselisihan. Oleh karena itu, beliau berusaha menghilangkan kemungkinan adanya perselisihan denga merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak, seperti jenis komoditi, mutu, kuantitas, serta tanggal dan tempat pengiriman.
B.     Dasar Hukum
1.      Al Quran[4]
Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”
Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
2.      Hadist
Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:
"Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari).
3.      Fatwa DSN MUI[5]
Fatwa DSN-MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual-Beli Salam
C.    Rukun Salam
Rukun dari akad salam yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu :
1.      Pelaku akad, yaitu muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok atau memproduksi barang pesanan.
2.      Objek akad, yaitu barang atau hasil produksi (muslam fiih) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman).
3.      Shigat, yaitu ijab dan qabul[6].
D.    Syarat Salam
Diperbolehkannya salam sebagai salah satu bentuk jual beli merupakan pengecualian dari jual beli secara umum yang melarang jual beli forward sehingga kontrak salam memiliki syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi, antara lain (Usmani, 1999) sebagai berikut.
1.      Pembeli harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam ditandatagani. Hal ini diperlukan karena jika pembayaran belum penuh, maka akan terjadi penjualan utang dengan utang yang secara eksplisit dilarang.
Selain itu, hikmah dibolehkannya salam adalah untuk memenuhi kebutuhan segera dari penjual. Jika harga tidak dibayar penuh oleh pembeli, tujuan dasar dari transaksi ini tidak terpenuhi. Oleh karena itu, semua ahli hukum Islam sepakat bahwa pembayaran penuh dimuka pada akad salam adalah perlu. Namu demikian, Imam Maliki berpendapat bahwa penjual dapat memberikan kelonggaran dua atau tiga hari kepada pembeli, tetapi bukan merupakan bagian dari akad.
2.      Salam hanya boleh digunakan untuk jual beli komoditas yang kualitas dan kuantitasnya dapat ditentukan dengan cepat (fungible goods atau dhawat al-amthal). Komoditas yang tidak dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya (termasuk dalam kelompok non fungible goods atau dhawat al-qeemah) tidak dapat dapat dijual menggunakan akad salam. Contoh : batu mulia tidak boleh diperjualbelikan dengan akad salam karena setiap batu mulia pada umumnya berbeda dengan lainnya dalam kualitas atau ukuran dalam berat, dan spesifkasi tepatnya umumnya sulit ditentukan.
3.      salam tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau produk dari lahan pertanian atau peternakan tertentu. Contoh : jika penjual bermaksud memasok gandum dari lahan tertentu atau buah dari pohon tertentu, akad salam tidak sah karena ada kemungkinan bahwa hasil panen dari lahan tertentu atau buah dari pohon tertentu rusak sebelum waktu penyerahan. Hal ini membuka kemungkinan waktu penyerahan yang tidak tentu. Ketentuan yang sama berlaku untuk setiap komoditas yang pasokannya tidak tentu.
4.      Kualitas dari komoditas yang akan dijual dengan akad salam perlu mempunyai spesifikasi yang jelas tanpa keraguan yang dapat menimbulkan perselisihan. Semua yang dapat dirinci harus disebutkan secara eksplisit.
5.      Ukuran kuantitas dari komoditas perlu disepakati dengan tegas. Jika komoditas tersebut dikuantifikasi dengan berat sesuai kebiasaan dalam perdagangan, beratnya harus ditimbang, dan jika biasa dikuantifikasi dengan diukur, ukuran pastinya harus diketahui. Komoditas yang biasa ditimbang tidak boleh diukur dan sebaliknya.
6.      Tanggal dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam kontak.
7.      Salam tidak dapat dilakukan untuk barang-barang yang harus diserahkan langsung. Contoh : jika emas yang dibeli ditukar dengan perak, sesuai dengan syariah, penyerahan kedua barang harus dilakukan bersamaan. Sama halnya jika terigu dibarter dengan gandum, penyerahan bersamaan keduanya perlu dilakukan agar jual beli sah secara syariah, sehingga akad salam tidak dapat digunakan.[7]
E.     Salam Paralel
[8]Salam paralel adalah suatu transaksi dengan Bank melakukan dua akad salam dalam waktu yang sama. Dalam akad salam pertama, Bank (selaku muslim) melakukan pembelian suatu barang kepada pihak penyedia barang (muslam ilaihi) dengan pembayaran di muka dan pada akad salam kedua, Bank (selaku muslam ilaihi) menjual lagi kepada pihak lain (muslim) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Pelaksanaan kewajiban Bank selaku muslam ilaih (penjual) dalam akad salam kedua tidak tegantung pada akadsalam yang pertama.
Adapun syarat-syarat salam paralel yang harus dipenuhi, antara lain (Unsmani, 1999) sebagai berikut.[9]
1.      Pada salam paralel, bank masuk ke dalam dua akad yang berbeda. Pada salam pertama bank bertindak sebagai pembeli dan pada salam kedua bank bertindak sebagai penjual. Setiap kontrak salam ini harus independen satu sama lain. Keduanya tidak boleh terikat satu sama lain sehingga hak dan kewajiban kontrak paralelnya. Setiap kontrak harus memiliki kekuatan dan keberhasilannya harus tidak tergantung pada yang lain.
Contoh: Jika A telah membeli 100 ton beras dari B dengan akad salam yang akan diserahkan pada tanggal 1 Juli. A dapat menjual 100 ton beras tersebut kepada C dengan akad salam paralel dengan penyerahan pada tanggal 1 Juli juga. Penyerahan beras kepada C tidak boleh tergantung pada penerimaan barang dari B. Jika B tidak mengirim beras pada tanggal 1 Juli, A harus tetap memenuhi untuk mengirim beras 100 ton ke C pada tanggal 1 Juli.  A dapat menemupuh jalan apa saja atas kelalaian B, tetapi A tetap tidak dapat menghindar dari kewajibannya untuk mengirim beras kepada C sesuai perjanjian. Demikian juga B mengirim barang yang rusak yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati, A tetap wajib mengirim barang kepada C sesuai spesifikasi yang telah disepakati bersama.
2.      Salam paralel hanya boleh dilakukan dengan pihak ketiga. Penjual pada salam pertama tidak boleh menjadi pembeli pada salam paralel karena hal ini akan menjadi kontrak pembelian kembali yang dilarang oleh syariah.
F.     Praktik Salam dalam Perbankan[10]
Dalam praktik perbankan, bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Ketika barang diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Pembiayaan Salam adalah sebagai berikut.
1.      Pembeli hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100kg mangga harum-manis kualitas A dengan harga Rp. 5.000/kg, akan diserahkan pada panen du bulan mendatang.
2.      Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah dterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
3.      Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut salam paralel.
G.    Berakhirnya Akad Salam[11]
Dari penjelasan diatas, hal-hal yang dpat membatalkan kontrak adalah:
1.      Barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
2.      Barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati dalam akad.
3.      Barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah, dan pembeli memilih untuk menolak atau membatalkan akad.
Apabila barang yang dikirim tidak sesuai kualitasnya dan pembeli memilih untuk membatalkan akad, maka pembeli berhak atas pengembalian modal salam yang sudah diserahkannya. Pembatalan diungkinkan untuk keseluruhan barang pesanan, yang mengakibatkan pengembalian semua modal salam yang telah dibayarkan. Dapat juga berupa pembatalan sebagian penyerahan barang pesanan dengan pengembalian sebagian modal salam
H.    Manfaat Akad Salam
[12]Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan manfaat yang besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad salam. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.      Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.      Mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian kontan dan barangnya sudah ada yang biasanya lebih mahal.
Sedangkan keuntungan bagi si penjual adalah[13] :
1.      Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehinga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian, selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2.      Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.



BAB III
PENUTUP
Salam adalah transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan di tempat transaksi.  Dasar hukum salam adalah QS. Al-Baqarah ayat 282 dan QS. Al Maidah ayat 1. Ada juga fatwa DSN-MUI yang mengatur tentang jual beli salam, yaitu Fatwa DSN MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Rukun dari akad salam adalah pelaku akad, objek akad, dan sighat.
Praktik salam dalam perbankan adalah dalam bentuk pembiayaan salam. Praktik salam dalam perbankan adalah Dalam praktik perbankan, salam biasa digunakan untuk pembiayaan. Ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan. Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.




DAFTAR PUSTAKA
Arcarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) Cet.I
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakart: Kencana, 2012) Cet. I
Hasan, Bahrun Segaf, Fiqih Muamalat  (Jawa Timur: Yayasan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah Bangil, 2012) Cet. I
Karim, Adiwarman, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) Cet. I



[1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 112. 
[2] Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 90.
[3] Ibid, hlm 91.
[4] Hari Wahyudi, “Dasar Hukum Jual Beli Salam”, Dasar Hukum Islam Muamalat, diakses dari http://dasar-hukum-muamalat.blogspot.com/2012/09/dasar-hukum-jual-beli-salam.html, pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 22:00.
[5] Risa Septiani, “Fatwa DSN MUI tentang Murabahah, Salam dan Istishna’”, diakses dari http://risaseptiani.blogspot.com/2012/05/fatwa-dns-mui-tentang-murabahah-ijarah.html, pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 22:10.
[6] Ascarya, loc.cit.
[7] Ascarya, op.cit. hlm 92-93.
[8] Ahmad Difam, “Definisi Salam Paralel”, Ini Lho Bank Syariah!, diakses dari https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/20/definisi-salam-paralel/, pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 22:15.
[9] Ascarya, op.cit. hlm 96.
[10] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perasad, 2004), hlm. 89-90.
[11] Ahmad Istanto, “Fiqih Muamalah-Akad Salam”, Ekonomi Syari’ah 99, diakses dari http://syariah99.blogspot.com/2013/05/fiqih-muamalah-akad-salam.html, pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 21:58.
[12] Ahmad Istanto, loc.cit.
[13] Segaf Hasan Baharun, Fiqih Muamalat, (Jawa Timur: Yayasan Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah Bangil, 2012), hlm. 75-76.
Posted on by Unknown | No comments

0 komentar:

Posting Komentar