SALAM
Disusun
guna memenuhi :
Mata kuliah : Fiqih Muamalah II
Dosen
pengampu : Agus Fakhrina, M.Si
Disusun
oleh :
1. Arum Kemuning Citra Resmi (2012113030)
2. Nisfa Nurul Rosyida (2012113029)
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI
PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam konteks masalah
muamalah berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Cakupan
hukum muamalat sangat luas dan bervariasi, baik yang bersifat perorangan maupun
yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau perikatan, hukum pidana,
peradilan dan sebagainya. Pembahasan muamalah terutama dalam masalah ekonomi
tentunya akan sering kali ditemui sebuah perjanjian atau akad.
Akad merupkan
peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan kabul, secara sah menurut
syara dan menimbulkan akibat hukum. Jika kita kaitkan dengan sebuah desain
kontrak maka kita akan mencoba mengkaitkan dengan Lembaga Keuangan dikarenakan
akad merupakan dasar sebuah instrumen dalam lembaga tersebut, terutama di
Lembaga Keungan Syariah Akad menjadi hal yang terpenting hal ini terkait dengan
boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan di dalam islam.
Pada kesempatan ini
akan membahas akad-akad yang di gunakan di Lembaga Keungan Syariah yang telah
sering dipergunakan dalam kehiduapan sehari-hari terlebih berkembanganya
ekonomi islam. Akad yang ada dalam bank syariah ada yang merupakan dana
kebajikan (tabarru’) dan ada juga akad yang dijadikan dasar sebuah instrumen untuk
transakasi yang tujuannya memperoleh keuntungan (tijarah). Tentunya ini adalah
hal yang berbeda dan pastilah dalam akad itu ada beberapa penjabaran dan
penjelasan bagaiman akad itu seharusnya bisa dilakukan. Dalam makalah ini akan
dibahas pengklasifikasian dari berbagai akad yang digunakan dalam lembaga
keuangan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Salam sinonim dengan salaf. Dikatakan aslama ats-tsauba lil
khiyath, artinya ia memberikan atau menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan
salam karena orang yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam
majelis. Dikatakan salam karena ia menyerahkan uangnya terlebih dahulu
sebelum menerima barang dagangannya.
Secara terminologis salam adalah
transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam
suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan di tempat transaksi.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah jasa
pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaannya dilakukan
bersamaan dengan pemesanan barang.[1]
Barang yang diperjualbelikan belum
tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu, seperti
produk-produk pertanian dan produk-produk fungible (barang yang dapat
diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya. Barang-barang
non-fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dan lain-lain yang
merupakan barang langka tidak dapat dijadikan objek salam (Al-Omar dan
Abdel-Haq, 1996). Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada
pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk
meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai
dengan spesifikasi awal yang disepakati.
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, dengan beberapa syarat yang
harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi
kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan
untuk menghidupi keluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba,
mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini
sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya dimuka.[2]
Sama halnya dengan para pedagang Arab yang biasa mengekspor barang
ke wilayah lain dan menimpor barang lai untuk keperluan negerinya. Mereka
membutuhkan modal untuk keperluan negerinya. Mereka membutuhkan modal untuk
menjalankan usaha perdagangan ekspor-impor itu. Untuk kebutuhan modal
perdagangan ini, mereka tidak dapat lagi meminjam dari para rentenir setelah
dilarangnya riba. Oleh sebab itulah, mereka diperbolehkan menjual barang
dimuka. Setelah menerima pembayaran tunai tersebut, mereka dengan mudah dapat
menjalankan usaha perdagangan mereka.
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran dimuka. Salam
juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam
lebih murah dari pada harga dengan akad tunai.[3]
Transaksi salam sangat
populer pada zaman Imam Abu Hanifah (80-150 AH/699-767 AD). Imam Abu Hanifah
meragukan keabsahan kontrak tersebut yang mengarah kepada perselisihan. Oleh
karena itu, beliau berusaha menghilangkan kemungkinan adanya perselisihan denga
merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di
dalam kontrak, seperti jenis komoditi, mutu, kuantitas, serta tanggal dan
tempat pengiriman.
B.
Dasar Hukum
1.
Al
Quran[4]
Firman
Allah QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai
sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...”
Firman Allah
QS. al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang
beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
2.
Hadist
Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:
"Barang siapa melakukan salaf
(salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari,
Sahih al-Bukhari).
3.
Fatwa
DSN MUI[5]
Fatwa DSN-MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual-Beli Salam
C.
Rukun Salam
Rukun dari akad salam yang harus dipenuhi dalam transaksi
ada beberapa, yaitu :
1.
Pelaku
akad, yaitu muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang, dan muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok atau
memproduksi barang pesanan.
2.
Objek
akad, yaitu barang atau hasil produksi (muslam fiih) dengan
spesifikasinya dan harga (tsaman).
D.
Syarat Salam
Diperbolehkannya salam sebagai
salah satu bentuk jual beli merupakan pengecualian dari jual beli secara umum
yang melarang jual beli forward sehingga kontrak salam memiliki
syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi, antara lain (Usmani, 1999) sebagai
berikut.
1.
Pembeli
harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam ditandatagani.
Hal ini diperlukan karena jika pembayaran belum penuh, maka akan terjadi
penjualan utang dengan utang yang secara eksplisit dilarang.
Selain
itu, hikmah dibolehkannya salam adalah untuk memenuhi kebutuhan segera
dari penjual. Jika harga tidak dibayar penuh oleh pembeli, tujuan dasar dari
transaksi ini tidak terpenuhi. Oleh karena itu, semua ahli hukum Islam sepakat
bahwa pembayaran penuh dimuka pada akad salam adalah perlu. Namu
demikian, Imam Maliki berpendapat bahwa penjual dapat memberikan kelonggaran
dua atau tiga hari kepada pembeli, tetapi bukan merupakan bagian dari akad.
2.
Salam
hanya boleh digunakan untuk jual beli komoditas yang kualitas dan
kuantitasnya dapat ditentukan dengan cepat (fungible goods atau dhawat
al-amthal). Komoditas yang tidak dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya
(termasuk dalam kelompok non fungible goods atau dhawat al-qeemah)
tidak dapat dapat dijual menggunakan akad salam. Contoh : batu mulia
tidak boleh diperjualbelikan dengan akad salam karena setiap batu mulia
pada umumnya berbeda dengan lainnya dalam kualitas atau ukuran dalam berat, dan
spesifkasi tepatnya umumnya sulit ditentukan.
3.
salam
tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau
produk dari lahan pertanian atau peternakan tertentu. Contoh : jika penjual
bermaksud memasok gandum dari lahan tertentu atau buah dari pohon tertentu,
akad salam tidak sah karena ada kemungkinan bahwa hasil panen dari lahan
tertentu atau buah dari pohon tertentu rusak sebelum waktu penyerahan. Hal ini
membuka kemungkinan waktu penyerahan yang tidak tentu. Ketentuan yang sama
berlaku untuk setiap komoditas yang pasokannya tidak tentu.
4.
Kualitas
dari komoditas yang akan dijual dengan akad salam perlu mempunyai
spesifikasi yang jelas tanpa keraguan yang dapat menimbulkan perselisihan. Semua
yang dapat dirinci harus disebutkan secara eksplisit.
5.
Ukuran
kuantitas dari komoditas perlu disepakati dengan tegas. Jika komoditas tersebut
dikuantifikasi dengan berat sesuai kebiasaan dalam perdagangan, beratnya harus
ditimbang, dan jika biasa dikuantifikasi dengan diukur, ukuran pastinya harus
diketahui. Komoditas yang biasa ditimbang tidak boleh diukur dan sebaliknya.
6.
Tanggal
dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam kontak.
7.
Salam
tidak dapat dilakukan untuk barang-barang yang harus diserahkan
langsung. Contoh : jika emas yang dibeli ditukar dengan perak, sesuai dengan
syariah, penyerahan kedua barang harus dilakukan bersamaan. Sama halnya jika
terigu dibarter dengan gandum, penyerahan bersamaan keduanya perlu dilakukan
agar jual beli sah secara syariah, sehingga akad salam tidak dapat
digunakan.[7]
E.
Salam Paralel
[8]Salam paralel adalah suatu transaksi dengan Bank melakukan dua akad salam dalam waktu yang sama. Dalam
akad salam pertama, Bank (selaku muslim)
melakukan pembelian suatu barang kepada pihak penyedia barang (muslam ilaihi) dengan pembayaran di muka dan pada akad salam kedua, Bank (selaku muslam ilaihi) menjual lagi kepada
pihak lain (muslim) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.
Pelaksanaan kewajiban Bank selaku muslam
ilaih (penjual)
dalam akad salam kedua tidak tegantung pada akadsalam yang pertama.
Adapun syarat-syarat salam paralel yang harus dipenuhi,
antara lain (Unsmani, 1999) sebagai berikut.[9]
1.
Pada
salam paralel, bank masuk ke dalam dua akad yang berbeda. Pada salam
pertama bank bertindak sebagai pembeli dan pada salam kedua bank
bertindak sebagai penjual. Setiap kontrak salam ini harus independen
satu sama lain. Keduanya tidak boleh terikat satu sama lain sehingga hak dan
kewajiban kontrak paralelnya. Setiap kontrak harus memiliki kekuatan dan
keberhasilannya harus tidak tergantung pada yang lain.
Contoh:
Jika A telah membeli 100 ton beras dari B dengan akad salam yang akan
diserahkan pada tanggal 1 Juli. A dapat menjual 100 ton beras tersebut kepada C
dengan akad salam paralel dengan penyerahan pada tanggal 1 Juli juga.
Penyerahan beras kepada C tidak boleh tergantung pada penerimaan barang dari B.
Jika B tidak mengirim beras pada tanggal 1 Juli, A harus tetap memenuhi untuk
mengirim beras 100 ton ke C pada tanggal 1 Juli. A dapat menemupuh jalan apa saja atas
kelalaian B, tetapi A tetap tidak dapat menghindar dari kewajibannya untuk
mengirim beras kepada C sesuai perjanjian. Demikian juga B mengirim barang yang
rusak yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati, A tetap wajib
mengirim barang kepada C sesuai spesifikasi yang telah disepakati bersama.
2.
Salam
paralel hanya boleh dilakukan dengan pihak ketiga. Penjual pada salam
pertama tidak boleh menjadi pembeli pada salam paralel karena hal
ini akan menjadi kontrak pembelian kembali yang dilarang oleh syariah.
Dalam praktik perbankan, bertindak
sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip
jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu
penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Ketika barang diserahkan
kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada
nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang
ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan.
Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging
financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak
harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad
jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.
Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti
pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara
tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Pembiayaan Salam adalah sebagai berikut.
1.
Pembeli
hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis,
macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100kg mangga harum-manis
kualitas A dengan harga Rp. 5.000/kg, akan diserahkan pada panen du bulan
mendatang.
2.
Apabila
hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah
(produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana
yang telah dterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
3.
Mengingat
bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory),
maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak
ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan.
Mekanisme seperti ini disebut salam paralel.
G.
Berakhirnya Akad Salam[11]
Dari penjelasan diatas, hal-hal yang dpat membatalkan kontrak adalah:
1. Barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
2. Barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati dalam
akad.
3. Barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah, dan pembeli memilih untuk
menolak atau membatalkan akad.
Apabila barang yang dikirim tidak sesuai kualitasnya dan pembeli memilih
untuk membatalkan akad, maka pembeli berhak atas pengembalian modal salam yang
sudah diserahkannya. Pembatalan diungkinkan untuk keseluruhan barang pesanan,
yang mengakibatkan pengembalian semua modal salam yang telah dibayarkan. Dapat
juga berupa pembatalan sebagian penyerahan barang pesanan dengan pengembalian
sebagian modal salam
H.
Manfaat Akad Salam
[12]Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan
manfaat yang besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak
bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual
dan pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan
menggunakan akad salam. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada
waktu yang ia inginkan.
2. Mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan
pembelian kontan dan barangnya sudah ada yang biasanya lebih mahal.
Sedangkan keuntungan bagi si penjual adalah[13] :
1.
Penjual
mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal,
sehinga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar
bunga. Dengan demikian, selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan
uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2.
Penjual
memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup
lama.
BAB III
PENUTUP
Salam adalah transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam
tanggungan dalam suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan di tempat
transaksi. Dasar hukum salam adalah QS.
Al-Baqarah ayat 282 dan QS. Al Maidah ayat 1. Ada juga fatwa DSN-MUI yang mengatur
tentang jual beli salam, yaitu Fatwa DSN MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam. Rukun dari akad salam adalah pelaku
akad, objek akad, dan sighat.
Praktik salam dalam perbankan
adalah dalam bentuk pembiayaan salam. Praktik salam dalam
perbankan adalah Dalam praktik perbankan, salam biasa digunakan untuk
pembiayaan. Ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau
secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah adalah harga beli
bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai
biasanya disebut pembiayaan talangan. Adapun dalam hal bank menjualnya secara
cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arcarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007) Cet.I
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakart: Kencana,
2012) Cet. I
Hasan, Bahrun Segaf, Fiqih Muamalat (Jawa Timur: Yayasan Pondok Pesantren
Darullughah Wadda’wah Bangil, 2012) Cet. I
Karim, Adiwarman, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004) Cet. I
[1] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 112.
[2] Ascarya, Akad
& Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 90.
[3] Ibid,
hlm 91.
[4] Hari
Wahyudi, “Dasar Hukum Jual Beli Salam”, Dasar Hukum Islam Muamalat, diakses
dari http://dasar-hukum-muamalat.blogspot.com/2012/09/dasar-hukum-jual-beli-salam.html,
pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 22:00.
[5] Risa
Septiani, “Fatwa DSN MUI tentang Murabahah, Salam dan Istishna’”, diakses dari http://risaseptiani.blogspot.com/2012/05/fatwa-dns-mui-tentang-murabahah-ijarah.html,
pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 22:10.
[6] Ascarya,
loc.cit.
[7] Ascarya,
op.cit. hlm 92-93.
[8] Ahmad
Difam, “Definisi Salam Paralel”, Ini Lho Bank Syariah!, diakses dari https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/20/definisi-salam-paralel/,
pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 22:15.
[9] Ascarya,
op.cit. hlm 96.
[10]
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Perasad, 2004), hlm. 89-90.
[11] Ahmad Istanto, “Fiqih Muamalah-Akad Salam”, Ekonomi
Syari’ah 99, diakses dari http://syariah99.blogspot.com/2013/05/fiqih-muamalah-akad-salam.html, pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 21:58.
[12] Ahmad
Istanto, loc.cit.
[13] Segaf
Hasan Baharun, Fiqih Muamalat, (Jawa Timur: Yayasan Pondok Pesantren
Darullughah Wadda’wah Bangil, 2012), hlm. 75-76.
0 komentar:
Posting Komentar